Senin, 20 Mei 2013



MANUSIA DAN TANGGUNG JAWAB – PENGALAMAN PRIBADI 
 
 “If you want to live a happy life, tie it to a goal, not to people or things.” Ya, kutipan-kutipan yang kubaca selalu terngiang dalam benakku. Belasan tahun lalu  aku sudah memijaki bumi ini, sebuah kebahagiaan yang patut disyukuri dan membuatku semakin menyadari untuk lebih mempertanggung jawabkan hidup ini.
Aku memang mulai beranjak dewasa karena secara agama aku sudah harus memikul dosaku sendiri. Sejak kecil berbagai macam kegiatan menarik selalu aku ikuti, contoh kecil adalah mewarnai. Aku tidak ingat bagaimana aku pada mulanya bisa jatuh hati pada bidang seni itu, yang aku tahu cukup banyak piala-piala yang telah menghiasi lemari-lemari kaca koleksi ibuku. Katanya tidak hanya piala yang dijadikan hadiah, bahkan aku pernah mendapatkan uang. Tidak semudah itu, aku selalu berlatih dan berlatih. Merasa sempurna setelahnya bila aku berlatih dengan keras maka akan mendapatkan hasil yang memuaskan.
Waktu demi waktu terus berjalan, entah bagaimana rasanya aku seperti kemalingan waktu hingga tak lagi melakukan hal-hal menarik saat kecil dulu—termasuk mewarnai. Aku disibukkan untuk menuntut ibuku membuatkan aku adik, yang aku intip dari cerita teman bangku sekolah dasarku keseruan memiliki adik. Hingga pada akhirnya, aku seperti mendapatkan malaikat di kasur ibuku. Ya, betapa bahagianya saat itu. Aku bahkan merasa tidak membutuhkan sosok teman seorang pun karena malaikat ini pasti membutuhkan aku disampingnya untuk membuatkan susu, atau membersihkan ompolnya.
Benar saja, malaikat ini selalu mengajakku bermain. Ya, aku tau rengekannya tengah malam itu karena ingin bermain denganku meski Ibu melarang. Aku juga senang karena makanan miliknya begitu lezat, biskuit-biskuitnya sungguh nikmat. Dan hal yang menjengkelkan adalah ketika ayah melarang aku menggendongnya. Aku salah apa? Aku rasa aku akrab dengan adikku, mengapa aku tidak boleh menggendongnya? Kata Ayah “Badan kamu begitu mungil terlebih lengan kamu—untuk menopang beban 4 kilo”. Ah, kesal rasanya, mengapa aku terlahir sekecil ini? Mengapa tidak sebesar ibuku? Ya, pengandaian yang aku harapkan hingga akhirnya aku belajar bahwa menyalahkan takdir itu bukan cermin hidup baik.
———
Aku mulai mengenakan seragam putih abu-abu dan…. Merasa seolah-olah menjadi “Einstein” yang begitu cerdas. Mulailah aku melanggar aturan-aturan yang ada. Aku lebih sering bermain-main dan melupakan belajar. Aku tidak mendengarkan larangan ibuku yang membatasi pertemananku, “Dia tidak baik, jangan didekati”. Ibu pasti salah, darimana ibu bisa tahu teman baik dan tidak? Kan yang berteman aku bukan Ibu.
Pada suatu saat, aku diajak menemani temanku itu. Sudah jauh-jauh hari aku membuat rencana dengannya—acara khusus kami berdua saat jam pelajaran sekolah. Pelajaran sejarah yang begitu membosankan. Bukan karena tidak menghormati semua penjuru pahlawan yang telah memperjuangkan hingga negara ini “merdeka”, tapi, entahlah, mungkin karena hukum yang begitu aneh, sangat tidak adil menurutku.
Teeeet…
Suara bel sekolahku berbunyi, dan kami saling berpandangan melempar senyum lalu lari keluar kelas seusai pelajaran matematika selesai. Kami begitu menikmati bermain berdua, mendengar banyak cerita hidupnya meski sedikit-sedikit aku mulai risih karena hidupnya yang begitu bebas dan sangat melanggar aturan-aturan semacam dirumahku. Seperti kereta yang lewat, sekejap aku ingat perkataan Ibuku. Tak memiliki waktu banyak, karena kemudian lamunanku buyar ketika bel kembali berbunyi tanda jam pelajaran telah usai..
Nampak pemandangan yang begitu mengejutkan, karena tas kami diseret-seret oleh Ibu Guru Sejarah!! Tanpa panjang cerita, kami akhirnya dihukum. Dan sialnya, tadi dilaksanakan ujian harian. Seminggu penuh sebelum pulang sekolah, kami harus membersihkan satu gedung sekolah. Dan nilaiku begitu buruk, untungnya Ibu Guru masih memberikan kesempatan padaku, Ia memberikan aku tugas untuk membuat makalah yang begitu buanyaaaaak dalam jangka satu hari. Ya, aku bergadang semalam suntuk dan menahan kesal karena telah berteman dengannya.
Ya, aku rasa aku sudah mengenal tanggung jawab, bahkan ternyata sejak aku masih kecil. Sejak aku berlatih terus menerus dalam mewarnai, menjaga adikku, dan bertanggung jawab atas kesalahanku. Aku juga sadar, harusnya aku tidak menyalahkan dia karena menyalahkan orang bukan sikap orang yang bertanggung jawab. Aku juga harus mendengarkan perkataan orang tuaku. Dan oh ya, yang aku tahu teman ku itu sudah menikah bahkan memiliki anak. Entahlah.



NAMA : DADI ROSADI
NPM  : 11412653
KELAS : 1IB03