MANUSIA DAN TANGGUNG JAWAB –
PENGALAMAN PRIBADI
“If you want to live a happy life, tie it to a
goal, not to people or things.” Ya,
kutipan-kutipan yang kubaca selalu terngiang dalam benakku. Belasan tahun lalu
aku sudah memijaki bumi ini, sebuah kebahagiaan yang patut disyukuri dan
membuatku semakin menyadari untuk lebih mempertanggung jawabkan hidup ini.
Aku memang mulai beranjak dewasa
karena secara agama aku sudah harus memikul dosaku sendiri. Sejak kecil
berbagai macam kegiatan menarik selalu aku ikuti, contoh kecil adalah mewarnai.
Aku tidak ingat bagaimana aku pada mulanya bisa jatuh hati pada bidang seni
itu, yang aku tahu cukup banyak piala-piala yang telah menghiasi lemari-lemari
kaca koleksi ibuku. Katanya tidak hanya piala yang dijadikan hadiah, bahkan aku
pernah mendapatkan uang. Tidak semudah itu, aku selalu berlatih dan berlatih.
Merasa sempurna setelahnya bila aku berlatih dengan keras maka akan mendapatkan
hasil yang memuaskan.
Waktu demi waktu terus berjalan,
entah bagaimana rasanya aku seperti kemalingan waktu hingga tak lagi melakukan
hal-hal menarik saat kecil dulu—termasuk mewarnai. Aku disibukkan untuk
menuntut ibuku membuatkan aku adik, yang aku intip dari cerita teman bangku
sekolah dasarku keseruan memiliki adik. Hingga pada akhirnya, aku seperti
mendapatkan malaikat di kasur ibuku. Ya, betapa bahagianya saat itu. Aku bahkan
merasa tidak membutuhkan sosok teman seorang pun karena malaikat ini pasti
membutuhkan aku disampingnya untuk membuatkan susu, atau membersihkan ompolnya.
Benar saja, malaikat ini selalu
mengajakku bermain. Ya, aku tau rengekannya tengah malam itu karena ingin
bermain denganku meski Ibu melarang. Aku juga senang karena makanan miliknya
begitu lezat, biskuit-biskuitnya sungguh nikmat. Dan hal yang menjengkelkan
adalah ketika ayah melarang aku menggendongnya. Aku salah apa? Aku rasa aku
akrab dengan adikku, mengapa aku tidak boleh menggendongnya? Kata Ayah “Badan
kamu begitu mungil terlebih lengan kamu—untuk menopang beban 4 kilo”. Ah, kesal
rasanya, mengapa aku terlahir sekecil ini? Mengapa tidak sebesar ibuku? Ya,
pengandaian yang aku harapkan hingga akhirnya aku belajar bahwa menyalahkan
takdir itu bukan cermin hidup baik.
———
Aku mulai mengenakan seragam putih
abu-abu dan…. Merasa seolah-olah menjadi “Einstein” yang begitu cerdas.
Mulailah aku melanggar aturan-aturan yang ada. Aku lebih sering bermain-main
dan melupakan belajar. Aku tidak mendengarkan larangan ibuku yang membatasi
pertemananku, “Dia tidak baik, jangan didekati”. Ibu pasti salah,
darimana ibu bisa tahu teman baik dan tidak? Kan yang berteman aku bukan Ibu.
Pada suatu saat, aku diajak menemani
temanku itu. Sudah jauh-jauh hari aku membuat rencana dengannya—acara khusus
kami berdua saat jam pelajaran sekolah. Pelajaran sejarah yang begitu membosankan.
Bukan karena tidak menghormati semua penjuru pahlawan yang telah memperjuangkan
hingga negara ini “merdeka”, tapi, entahlah, mungkin karena hukum yang begitu
aneh, sangat tidak adil menurutku.
Teeeet…
Suara bel sekolahku berbunyi, dan
kami saling berpandangan melempar senyum lalu lari keluar kelas seusai
pelajaran matematika selesai. Kami begitu menikmati bermain berdua, mendengar
banyak cerita hidupnya meski sedikit-sedikit aku mulai risih karena hidupnya
yang begitu bebas dan sangat melanggar aturan-aturan semacam dirumahku. Seperti
kereta yang lewat, sekejap aku ingat perkataan Ibuku. Tak memiliki waktu
banyak, karena kemudian lamunanku buyar ketika bel kembali berbunyi tanda jam
pelajaran telah usai..
Nampak pemandangan yang begitu
mengejutkan, karena tas kami diseret-seret oleh Ibu Guru Sejarah!! Tanpa
panjang cerita, kami akhirnya dihukum. Dan sialnya, tadi dilaksanakan ujian
harian. Seminggu penuh sebelum pulang sekolah, kami harus membersihkan satu
gedung sekolah. Dan nilaiku begitu buruk, untungnya Ibu Guru masih memberikan
kesempatan padaku, Ia memberikan aku tugas untuk membuat makalah yang begitu
buanyaaaaak dalam jangka satu hari. Ya, aku bergadang semalam suntuk dan
menahan kesal karena telah berteman dengannya.
Ya, aku rasa aku sudah mengenal
tanggung jawab, bahkan ternyata sejak aku masih kecil. Sejak aku berlatih terus
menerus dalam mewarnai, menjaga adikku, dan bertanggung jawab atas kesalahanku.
Aku juga sadar, harusnya aku tidak menyalahkan dia karena menyalahkan orang
bukan sikap orang yang bertanggung jawab. Aku juga harus mendengarkan perkataan
orang tuaku. Dan oh ya, yang aku tahu teman ku itu sudah menikah bahkan
memiliki anak. Entahlah.
NAMA : DADI ROSADI
NPM : 11412653
KELAS : 1IB03